Mendaki Sejarah Budha di Borobudur
Mendaki
Sejarah Budha di Borobudur
Budha
merupakan salah satu agama yang pernah jaya di masa lampau Nusantara, terbukti
dengan banyaknya bangunan candi yang bercirikan agama Budha dan berdiri di
tanah Nusantara. Salah satu diantaranya yang berdiri megah di Indonesia adalah
Candi Borobudur yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para
penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan
wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di
dunia, sekaligus salah satu monumen
Buddha terbesar di dunia.
Menurut
bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya
pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.
Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir
Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal
Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya
penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975
hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs
bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Asal mula nama Borobudur tidak jelas, meskipun memang
nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Nama
Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Ia menulis mengenai monumen bernama borobudur,
akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama
persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk
mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur
adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur,
kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa
terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang
seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi
itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan
dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"–
maka bermakna, "Boro purba". Akan tetapi arkeolog lain beranggapan
bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang
berarti gunung.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk
mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan.
Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar
tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat
diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan
memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan
mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh
Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang
disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri
berasal dari kata mula yang
berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan
leluhur dari wangsa Syailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi
Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit
himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli
Borobudur.
Terlepas dari
kontrofersi diatas, masyarakat sudah menganggap bangunan spektakuler ini dengan
Borobudur, bahkan wisatawan-wisatawan yang datang pun juga menyebutnya dengan
Borobudur. Hal ini membuktikan bahwa bangunan ini sudah dikenal luas dengan
nama Borobudur.
A. Bagian Candi Borobudur
Bangunan
candi ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya
terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel
relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief
Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar teletak di
tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan
melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk
bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra
mudra (memutar roda dharma). Berikut ini ilustrasi Candi Borobudur yang dilihat
dari atas :
Secara
umum candi Borobudur terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :
1. Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur
melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau
"nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu
yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli
yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga
yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara
disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini.
Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume
13.000 meter kubik.
2. Rupadhatu
Empat undak teras yang
membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para
ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari
empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km
dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.
Tingkatan ini melambangkan antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian
Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di
atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam
relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan. Pada pagar
langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari
ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai
ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika
(stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran
relief.
3. Arupadhatu
Berbeda dengan
lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga
ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang
berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran.
Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala
keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada
pelataran lingkaran terdapat 72 stupa kecil berterawang yang tersusun dalam
tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa
kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing
berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih
besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya
sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung
Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam
kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun
ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud,
yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat. Tingkatan tertinggi yang
menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang
terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang.
B.
Relief Pada Candi Borobudur
Pada dinding candi di
setiap tingkatan kecuali pada teras-teras Arupadhatu dipahatkan panel-panel
relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief pada Borobudur
bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus.
Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan
anggun dalam kesenian dunia Buddha.
Relief Borobudur
menampilkan banyak gambar seperti aneka tumbuhan dan hewan, sosok manusia baik
bangsawan, rakyat jelata,
atau pertapa, raja, wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai
derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa serta menampilkan
bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Salah satunya relief terkenal adalah
yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu bercadik khas Nusantara
ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat
berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah
jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang
artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam
isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini
senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap
tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu
gerbang itu.
Adapun susunan dan pembagian relief
cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief
|
|||
Tingkat
|
Posisi/letak
|
Cerita Relief
|
Jumlah Pigura
|
Kaki candi asli
|
-----
|
160
|
|
Tingkat I
|
dinding
|
120
|
|
120
|
|||
langkan
|
a. jataka/awadana
|
372
|
|
b. jataka/awadana
|
128
|
||
Tingkat II
|
dinding
|
128
|
|
langkan
|
jataka/awadana
|
100
|
|
Tingkat III
|
dinding
|
Gandawyuha
|
88
|
langkan
|
Gandawyuha
|
88
|
|
Tingkat IV
|
dinding
|
Gandawyuha
|
84
|
langkan
|
Gandawyuha
|
72
|
|
Jumlah
|
1460
|
Secara runtutan, maka
cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
1.
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur
(lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna
simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung
tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang
menggambarkan ajaran mengenai karma,
yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan
merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu
cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi
gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan
penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan
oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan
diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan
dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat
disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
2.
Lalitawistara
Pangeran Siddhartha Gautama mencukur rambutnya dan menjadi pertapa
Merupakan
penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari
surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota
Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi
sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang
dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan,
baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya
penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha,
putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief
tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang
secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di
sebut dharma yang juga
berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
3.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai
cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta.
Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela
berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain
manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa
yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau
perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat
ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana,
pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain
dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia
kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief
candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan
sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan.
Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala
atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4
Masehi.
4.
Gandawyuha
Merupakan
deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran
Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
C.
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi
menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar
memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan
berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang
Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi
tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah
perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1.
Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui
pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas
bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas.
Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit
tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang
membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis.
Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai
piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang
dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida
berundak.
2. Tahap kedua: Penambahan dua
undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung
dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan
rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar
dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun
berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang
besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki
tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga.
Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal
yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa
besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser
keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga
tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga
Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk
membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan
teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya
satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka
ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini
adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh
candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief
Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil
seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan
tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
D.
Acara yang rutin di laksanakna di Candi Borobudur
Seperti
yang sudah dikatakan sebelumnya, Candi ini adalah peninggalan agama Budha, maka
dengan begitu bangunan ini juga tentunya dijadikan pusat kegiatan keagamaan,
apalagi Candi Borobudur adalah situs Budha terbesar yang ada di Indonesia.
Tidak heran jika pada saat perayaan hari besar agama Budha, aka banyak biksu
yang datang ke Candi Ini. Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan
Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari
yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan
Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha
Shakyamuni. Upacara peringatan Waisak dipusatkan di tiga candi Buddha utama
dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir
di Candi Borobudur.
Galery :
Komentar
Posting Komentar